https://share.google/images/90NVBuXt5d0iDsNA0
https://share.google/images/NYDA2D31WcfLjw5mX
https://share.google/images/b2P1URkjzX7jgJOmH
Istana Bima, atau yang dikenal juga sebagai Asi Mbojo, kini difungsikan sebagai Museum Bima dan menjadi simbol terakhir peninggalan fisik Kesultanan Bima. Bangunan ini bukan hanya menjadi pusat pemerintahan masa lampau, melainkan juga lambang identitas budaya dan kebangsaan masyarakat Bima. Konon, di istana inilah bendera Merah Putih pertama kali dikibarkan di Bima. Istana dalam budaya Bima telah dikenal sejak abad ke-11 Masehi, dimulai dari mitos tentang “istana kaca” yang dibangun oleh Raja Indra Jamrud dan kemudian dihidupkan kembali oleh Sultan Abdul Hamid dengan nama Asi Saninu. Pembangunan istana berlanjut di bawah Sultan Ismail yang mendirikan Asi Mpasa pada tahun 1820 M, hingga akhirnya muncul Asi Bou dan Asi Mbojo, dua istana yang berdampingan dan masih ada hingga kini.
Asi Bou sendiri awalnya adalah bangunan darurat untuk tempat tinggal sementara Sultan Muhammad Salahuddin selama pembangunan Asi Mbojo yang dimulai pada tahun 1927 dan rampung tiga tahun kemudian, pada 1929. Istana ini dirancang oleh arsitek asal Ambon, Rahatta, atas undangan pemerintah kolonial Belanda, dan dibangun secara gotong royong oleh rakyat dengan pembiayaan dari anggaran kesultanan. Gaya arsitekturnya merupakan perpaduan antara unsur lokal Bima dan gaya Eropa, menjadikan bangunan dua lantai ini tampak megah dan eksotik. Dulu, halaman istana seluas 500 meter persegi dikelilingi taman dan pepohonan rindang, serta dijaga ketat oleh pasukan kesultanan di dua gerbang utama, yaitu di sisi Timur dan Barat.
Tata letak istana memperlihatkan keselarasan antara pusat pemerintahan, aktivitas keagamaan, dan kehidupan rakyat. Istana menghadap ke Barat, menghadap alun-alun atau serasuba, tempat penyelenggaraan acara penting kesultanan dan latihan pasukan, yang terhubung langsung dengan Masjid Sultan di sebelahnya. Pintu-pintu masuk istana memiliki fungsi khusus, seperti Lawa Kala untuk para ulama dan pejabat hukum, serta Lawa Weki untuk keluarga kerajaan. Di depan istana terdapat beberapa meriam kuno dan tiang bendera tinggi dari kayu jati Kasipahu yang dahulu dibangun oleh Sultan Abdullah sebagai simbol perlawanan terhadap penjajahan Belanda, dan dibangun kembali pada 2003 oleh Hj. St Maryam R. Salahudin setelah sebelumnya roboh karena lapuk.
Masuk ke dalam istana, pengunjung melewati serambi utara yang dulunya menjadi tempat penerimaan tamu dan upacara adat, namun kini difungsikan sebagai ruang pamer peninggalan zaman Hindu, seperti patung yoni dan menhir. Di ruang Saro Na’e, yang dulu menjadi tempat sidang Majelis Hadat, kini disimpan berbagai data geologi dan demografi Bima. Ada juga ruangan yang dahulu digunakan oleh Syara Hukum Islam kini menampilkan alat-alat tradisional masyarakat, serta ruang kantor istana yang dulunya tempat penulisan catatan adat, kini digunakan untuk memperkenalkan struktur sosial masa kesultanan dan benda-benda adat.
Di dekat kantor istana terdapat ruang tamu Sultan yang juga pernah digunakan sebagai kamar putra Sultan, dan kini digunakan untuk memperlihatkan benda-benda upacara adat. Ruangan lainnya, yang dulunya untuk tamu-tamu kesultanan, sekarang menampilkan benda-benda kehidupan sehari-hari. Setelah melewati koridor yang memamerkan perabot dapur tradisional, pengunjung sampai di ruang makan keluarga Sultan, yang kini berisi peralatan teknologi tradisional seperti pertenunan dan pertukangan. Ada pula ruang Tatarapang, dahulu tempat penyimpanan senjata dan benda sakral, yang sekarang menjadi ruang naskah dan perpustakaan dengan koleksi aksara kuno, termasuk aksara Bima. Di lantai atas istana, dulunya terdapat kamar tidur, ruang kerja, dan ruang santai keluarga Sultan, menambah kekayaan sejarah dan budaya yang terekam dalam bangunan ini.